Empat Perusahaan Transportasi Online Respon Kritis Wacana Pengemudi Ojol Jadi Pegawai Tetap
Isu perubahan status pengemudi ojol menjadi pegawai langsung memicu reaksi dari pelaku industri. Perwakilan dari inDrive, Grab Indonesia, dan Maxim secara terbuka menolak wacana tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan model bisnis yang selama ini dijalankan. Dalam diskusi publik bersama Menteri Perhubungan, keempat perusahaan sepakat bahwa rencana tersebut tidak sejalan dengan harapan para driver maupun perusahaan itu sendiri.
Perubahan status ojol menjadi karyawan tetap dipandang akan mengubah secara signifikan cara kerja sektor transportasi online. Perusahaan yang sebelumnya hanya menyediakan platform dan mengandalkan kemitraan, kini akan dibebani kewajiban hukum layaknya pemberi kerja formal, termasuk jaminan sosial, upah minimum, dan perlindungan ketenagakerjaan. Kondisi ini dinilai tidak realistis untuk diterapkan pada skala nasional.
Business Development Representative inDrive, Ryan Rwanda, menegaskan bahwa perubahan status ojol menjadi pegawai dapat memicu konsekuensi besar, salah satunya adalah pengurangan jumlah pengemudi. Menurut Ryan, beban perusahaan akan meningkat secara signifikan karena harus menanggung kewajiban baru. Selain itu, dari hasil diskusi internal perusahaan, mayoritas mitra pengemudi juga menyatakan tidak sepakat dengan usulan tersebut. Ryan menjelaskan bahwa sistem kemitraan justru memberikan kemandirian yang lebih besar bagi para driver.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Tirza R. Munusamy selaku Chief of Public Affairs Grab Indonesia. Ia menyoroti hilangnya fleksibilitas yang selama ini menjadi daya tarik utama pekerjaan sebagai driver ojol. Tirza menjelaskan bahwa menjadikan para pengemudi sebagai pegawai tetap akan berdampak langsung pada jumlah driver yang tersedia, mengingat sistem baru akan memerlukan kontrol lebih ketat terhadap jam kerja dan kuota operasional. Hal ini dapat mengganggu keberlanjutan model bisnis yang selama ini bergantung pada jumlah driver yang besar dan fleksibel.
Muhammad Rafi Assagaf dari Maxim Indonesia menambahkan bahwa alih-alih menjadikan ojol sebagai karyawan tetap, pemerintah sebaiknya menetapkan status mereka sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ia berpendapat bahwa pendekatan UMKM akan memberikan ruang kemandirian lebih luas kepada para pengemudi. Dalam pandangannya, model UMKM lebih sesuai dengan realitas sosial ekonomi pengemudi ojol di Indonesia. Ia menilai bahwa pengemudi justru akan lebih berkembang jika diposisikan sebagai pelaku usaha kecil yang beroperasi secara mandiri dengan dukungan kebijakan dan perlindungan hukum dari pemerintah.
Di tengah polemik ini, sejumlah asosiasi driver ojol pun turut angkat suara. Mereka merespons dengan menggelar aksi mogok nasional pada Selasa (20/5), sebagai bentuk penolakan terhadap wacana perubahan status. Dalam aksinya, mereka mematikan aplikasi dan menghentikan layanan sementara sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dan perusahaan aplikasi transportasi online. Para driver mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada perusahaan yang dianggap melanggar regulasi, termasuk Permenhub PM Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022.
Aksi protes ini juga membawa sederet tuntutan yang diajukan oleh para pengemudi. Salah satunya adalah permintaan agar potongan aplikasi tidak lebih dari 10 persen. Mereka juga menolak berbagai program insentif seperti aceng, slot, hemat, dan prioritas yang dianggap merugikan. Dalam tuntutannya, para pengemudi mendesak revisi tarif penumpang dan penghapusan sistem yang dianggap tidak adil terhadap pengemudi. Mereka juga menginginkan keterlibatan aktif asosiasi pengemudi dalam penentuan tarif layanan, baik pengantaran makanan maupun barang, agar tidak hanya menguntungkan aplikator saja.
Para driver ojol juga mendorong Komisi V DPR RI untuk segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan. RDP tersebut diharapkan melibatkan semua pihak terkait, mulai dari Kementerian Perhubungan, asosiasi pengemudi, hingga pihak aplikator. Menurut mereka, dialog terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan adalah satu-satunya cara untuk mencari solusi terbaik yang adil dan berkelanjutan. Mereka mengingatkan bahwa suara driver tidak boleh diabaikan dalam kebijakan yang akan menentukan masa depan mereka.
Isu perubahan status driver ojol menjadi karyawan tetap ini menjadi titik krusial dalam pengembangan sektor transportasi berbasis aplikasi di Indonesia. Di satu sisi, ada keinginan untuk meningkatkan perlindungan sosial bagi para pengemudi, tetapi di sisi lain terdapat tantangan besar dalam implementasi kebijakan tersebut. Model kemitraan yang selama ini berjalan memberikan fleksibilitas dan peluang ekonomi, tetapi sekaligus juga menimbulkan kerentanan. Pemerintah, aplikator, dan asosiasi pengemudi perlu duduk bersama untuk menyusun kerangka kerja baru yang tetap adil tanpa mengorbankan keberlanjutan industri.
Jika status pengemudi benar-benar diubah menjadi karyawan tetap, akan ada banyak aspek yang harus diatur ulang, termasuk jam kerja, upah, asuransi, hingga hubungan industrial. Dampak dari perubahan tersebut tidak hanya dirasakan oleh perusahaan dan pengemudi, tetapi juga oleh konsumen yang selama ini menikmati layanan cepat dan murah. Oleh karena itu, keputusan akhir harus mempertimbangkan semua aspek secara menyeluruh, dan bukan hanya dari sisi perlindungan tenaga kerja semata.
Dengan penolakan dari empat perusahaan besar seperti inDrive, Grab, Maxim, dan perusahaan lainnya, sinyal penolakan ini menunjukkan bahwa model kemitraan masih dianggap sebagai sistem terbaik untuk saat ini. Perlu pendekatan yang hati-hati agar kebijakan baru tidak berdampak negatif terhadap ekosistem transportasi online yang sudah terbentuk dan berkembang luas di Indonesia.