Kaji Kenaikan Tarif Ojek Online 8–15 Persen, Potongan Aplikasi dan Daya Beli Jadi Sorotan
Zaky Handika, seorang karyawan swasta di Jakarta, mengaku waswas setelah mendengar kabar bahwa tarif ojek online akan naik hingga 15 persen. Selama ini, ia mengandalkan ojek online untuk perjalanan dari rumahnya di Menteng menuju tempat kerja di Palmerah. Ongkos harian yang biasanya Rp18 ribu berpotensi meningkat drastis. Bagi Zaky, wacana kenaikan tarif ojek online menjadi ancaman bagi kestabilan keuangannya. Ia menyebutkan, jika tarif benar-benar naik, gajinya tidak akan cukup untuk menutup biaya transportasi bulanan.
Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Aan Suhanan, menyatakan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan empat aplikator ojek online dan perwakilan pengemudi pasca-aksi demonstrasi nasional pada Mei 2025. Dalam forum tersebut, dibahas dua tuntutan utama: revisi tarif penumpang dan pemangkasan potongan aplikasi menjadi hanya 10 persen. Namun hingga kini, kajian soal revisi potongan tersebut belum rampung, sementara kajian kenaikan tarif dianggap sudah hampir final.
Sementara itu, berbagai pihak menilai bahwa rencana kenaikan tarif ojek online tidak akan memberikan efek positif apabila potongan platform masih tinggi. Ketua Umum Serikat Pekerja Angkutan Indonesia, Lily Pujiati, menekankan bahwa pengemudi tetap akan tertekan apabila potongan yang dibebankan aplikator tidak dikurangi. Ia bahkan menyebut bahwa potongan bisa mencapai 70 persen untuk layanan pengiriman barang dan makanan, melebihi batas yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Lily, pengemudi tidak hanya menghadapi potongan besar, tetapi juga harus menanggung biaya operasional seperti bahan bakar, pulsa, servis kendaraan, hingga cicilan. Karena itu, ia menuntut potongan aplikasi diturunkan menjadi maksimal 10 persen. Selain itu, ia mendorong agar pengemudi ojek online diberikan kepastian pendapatan melalui skema upah minimum provinsi agar kesejahteraan mereka bisa dijamin secara berkelanjutan.
Igun Wicaksono dari Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia memiliki pandangan serupa. Ia menilai bahwa tanpa pemangkasan potongan aplikasi, kebijakan kenaikan tarif hanya akan menyulitkan konsumen tanpa memberikan peningkatan pendapatan yang berarti bagi pengemudi. Bahkan, ia memperingatkan bahwa pelanggan bisa saja beralih ke moda transportasi lain yang lebih murah dan efisien, mengingat saat ini pun jumlah pengemudi melebihi jumlah pelanggan.
Deddy Herlambang dari Masyarakat Transportasi Indonesia mengingatkan bahwa tanpa adanya pembatasan jumlah pengemudi, penghasilan mitra ojek online justru akan terus menurun. Ia membandingkan dengan angkutan konvensional seperti taksi dan angkot yang dibatasi armadanya. Ia khawatir, meski tarif dinaikkan setinggi apa pun, jika tidak ada regulasi mengenai jumlah pengemudi, keseimbangan pasar tidak akan pernah tercapai dan pengemudi tetap akan bersaing ketat memperebutkan pelanggan yang terbatas.
Arianto Harefa dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengimbau pemerintah untuk mengkaji lebih dalam rencana kenaikan tarif ini. Menurutnya, setiap kebijakan tarif harus mempertimbangkan daya beli masyarakat. Ia menolak jika beban pemotongan aplikasi yang seharusnya ditanggung oleh aplikator justru dialihkan ke konsumen. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan tarif hingga 15 persen dikhawatirkan akan menurunkan tingkat penggunaan layanan ojek online secara signifikan.
Sementara itu, dari sisi perusahaan, tidak semua aplikator sepakat dengan kebijakan kenaikan tarif ojek online. Maxim Indonesia, melalui Muhammad Rafi Assagaf, menyatakan bahwa kenaikan tarif bisa berdampak destruktif bagi industri dan mengurangi keseimbangan antara permintaan konsumen dan jumlah pengemudi. Menurutnya, perusahaan bisa kesulitan bertahan jika permintaan turun tajam akibat tarif yang lebih mahal.
Pandangan senada disampaikan oleh GoTo, induk perusahaan Gojek. Director of Public Affairs and Communications GoTo, Ade Mulya, menjelaskan bahwa pihaknya masih melakukan kajian menyeluruh bersama Kementerian Perhubungan. Ia menyebut bahwa Gojek berkomitmen menjaga tarif tetap kompetitif sambil mempertimbangkan daya beli masyarakat. Tujuannya adalah agar ekosistem tetap berkelanjutan dan mitra pengemudi tetap memperoleh pendapatan optimal.
Tirza Munusamy dari Grab Indonesia juga menyoroti kompleksitas kebijakan tarif baru. Menurutnya, kenaikan tarif akan berdampak besar pada penghasilan mitra dan sensitivitas harga di mata pelanggan. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan perusahaan, mitra pengemudi, dan konsumen agar tidak ada pihak yang dirugikan. Tirza juga mengklarifikasi bahwa biaya komisi 20 persen yang sering disebut-sebut hanya dihitung dari tarif dasar, bukan dari total biaya yang dibayar konsumen, yang sudah termasuk komponen biaya aplikasi dan lainnya.
Komisi tersebut, lanjut Tirza, digunakan untuk mendanai pengembangan sistem, layanan pelanggan, hingga jaminan asuransi bagi pengemudi. Ia mengakui bahwa perubahan tarif memang tidak mudah, namun tetap diperlukan dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan seluruh pihak dalam ekosistem transportasi daring.
Ahmad Yani, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, mengatakan bahwa pemerintah masih melakukan survei mengenai kemampuan dan kemauan masyarakat dalam membayar tarif ojek online. Ia menegaskan bahwa keputusan akhir belum diambil, namun pemerintah tetap berkomitmen untuk mendengar aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pengemudi dan aplikator.
Wacana kenaikan tarif ojek online dan pemangkasan potongan aplikasi menjadi isu krusial yang membutuhkan pertimbangan matang dari semua pihak. Tanpa solusi komprehensif, risiko ketimpangan dalam ekosistem transportasi daring bisa semakin melebar. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dipastikan membawa manfaat bukan hanya bagi aplikator, tetapi juga untuk pengemudi dan konsumen.